Mar 1, 2009
Home »
» Ponari & Pemahaman Masyarakat
Ponari & Pemahaman Masyarakat
APA yang bisa kita refleksikan dari cerita Ponari, dukun cilik asal Jombang, Jawa Timur, yang diserbu belasan ribu pencari kesembuhan? Mungkin kasus ini hanya gambaran, betapa masyarakat sudah lelah dengan segala kekisruhan negeri ini dan gampang terbuai apa saja yang dianggap bisa menyelamatkan. Jangan-jangan inilah gejala messianisme baru yang selalu muncul saat krisis.
Jumat (20/2) pagi, ratusan orang bergerombol di depan pagar SD Negeri I Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang. Mereka setia menunggu dukun cilik M Ponari (10) yang hari itu untuk pertama kalinya kembali bersekolah setelah 22 hari libur akibat sibuk melayani ribuan pasien. Jika ada kesempatan, orang-orang itu bakal berebut berkah ”batu geledek” Ponari.
”Saya sudah tiga hari antre di sini,” kata Satumi (62), warga Mojokerto. Perempuan ini mengaku, penyakit mag dan darah tingginya sembuh di tangan Ponari sehingga dia balik lagi untuk mengenyahkan penyakit lainnya.
Puluhan ribu sudah orang menyesaki Dusun Kedungsari, tempat tinggal Ponari. Mereka berdesakan, bahkan sampai ada yang meninggal, demi mencecap penyembuhan dari batu yang dicelupkan ke air. Ketika makin sulit mengakses Ponari, sebagian pengunjung nekat meraup tanah, air got, gedek bambu, atau apa saja dari sekeliling rumah si dukun cilik.
Belakangan, muncul dukun cilik lain, juga di Jombang. Namanya Dewi Setiawati (12) di Dusun Pakel, Desa Brodot, Kecamatan Bandarkedungmulyo. Begitu kabar beredar, ratusan orang pun meluruk ke sana.
Bagaimana sebaiknya kita melihat fenomena Ponari? Kenapa orang begitu percaya pada pengobatan ala Ponari yang keampuhannya sulit dibuktikan?
Dengan perspektif lebih luas, kita bisa merunut beberapa kasus lain yang kurang lebih memperlihatkan gejala kerumunan massa yang memimpikan jalan penyelamatan.
Awal tahun 2009, mencuat kasus Agus Imam Solihin, pemimpin kelompok Satria Piningit Weteng Buwono di Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Agus yang mengaku sebagai titisan Presiden Soekarno dan Imam Mahdi Sang Penyelamat itu juga punya sejumlah pengikut.
Akhir tahun 2007, Ahmad Moshaddeq alias Abdul Salam asal Depok, Jawa Barat, memproklamirkan diri sebagai nabi bagi kelompoknya, Al Qiyadah Al Islamiyah. Sebelumnya, sejak akhir tahun 1990-an, Lia Aminuddin mendeklarasikan Salamullah, kemudian berubah jadi God’s Kingdom Eden. Kelompok ini juga mengklaim diri sebagai penyelamat.
Messianistik
Menurut pengamat sosial-budaya asal Yogyakarta, Sindhunata, kasus-kasus itu bisa dicermati sebagai gejala yang mengarah pada messianisme baru. Dalam arti, ada gerakan sosial yang memercayai adanya juru selamat yang membebaskan masyarakat dari penderitaan saat zaman krisis. Gejala ini kerap disebut milleniarisme karena sang penyelamat dibayangkan bakal membuka zaman baru.
Dalam konteks Ponari, misalnya, kepercayaan masyarakat terhadap penyembuhan instan tumbuh bukan saja akibat pelayanan kesehatan pemerintah buruk (karena banyak orang bermobil turut berobat), melainkan didorong kerinduan bawah sadar akan penyelamatan. Ketika kerinduan itu bertemu dengan mitos Ponari ”menangkap” geledek, jadilah kerumunan massa yang luar biasa.
Kasus Satria Piningit, Moshaddeq, dan Lia Eden juga menjanjikan pembebasan bagi kelompoknya. Aspirasi itu mengental akibat agama-agama resmi kelewat mapan, baik dalam dogma, maupun jaringannya sehingga sulit memenuhi harapan itu.
”Secara teologis dan filosofis, ada kerinduan terdalam manusia akan penyelamatan,” kata Sindhunata, yang menulis disertasi seputar pengharapan messianik masyarakat Jawa abad ke-19 dan awal abad ke-20 untuk memperoleh gelar doktor dari Hochschule für Philosophie, München, Jerman.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Komaruddin Hidayat menilai, gejala messianistik mudah menjalar di Indonesia karena kita punya tradisi agama yang mendorong keyakinan adanya kekuatan supranatural, baik lewat nabi, wali, atau tabib.
Ketika berada pada titik kritis—misalnya akibat kemiskinan, kebodohan, atau kekacauan sosial akut—masyarakat akan mencari pegangan spiritual, tanpa peduli spiritualitas itu muncul dari dukun, guru ngaji, atau siapa saja.
”Ibarat tercerbur ke sungai, masyarakat butuh pegangan segera, entah itu ranting, daun, atau kotoran,” katanya.
Nalini Muhdi Agung, psikiater RSU Dr Soetomo Surabaya/Universitas Airlangga, berpendapat mental masyarakat sedang sakit akibat tekanan hidup, ketidakpastian masa depan, atau rasa tak berdaya dan terpinggirkan. ”Dalam situasi ini, orang akan mudah tersugesti, bahkan oleh mitos kosong.”
Diponegoro
Gejala messianistik merupakan gejala umum di Asia, Eropa, bahkan Amerika. Dalam sejarah bangsa Indonesia, kehadirannya bisa dilacak sejak zaman kolonial, kemerdekaan, Orde Lama, sampai Orde Baru. Merujuk tulisan-tulisan guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Sartono Kartodirjo (almarhum), fenomena messianisme berakar kuat di Tanah Air sebagai perlawanan terhadap kolonialisme dalam bentuk gerakan Ratu Adil yang bersambut dengan konsep mahdiisme.
Berbagai perlawanan bisa jadi contoh, antara lain Perang Diponegoro (1825-1930), perlawanan petani di Banten, Kiai Kasan Mukmin di Krian Sidoarjo (1854-1904), pemberontakan pajak di Ponorogo, gerakan Ahmad Ngisa (1859), dan Srikaton (1880).
Dalam agama Kristen, gejalanya terlihat pada gerakan Kiai Sadrah di Bagelen dan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di Pati.
Khusus Perang Diponegoro, mobilisasi massa efektif akibat kepercayaan bahwa Diponegoro memperoleh pulung mistis dari Ratu Adil untuk memimpin Perang Jawa dengan gelar Sayidin Panatagama (pengatur agama).
”Mobilisasi Perang Diponegoro berhasil karena digalang secara sistematis dengan membentuk sistem perlawanan lengkap dengan panglima perang Alibasah Sentot Prawiradirja, angkatan perang, dan dukungan ulama (Kiai Mojo),” kata Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sardono W Kusumo, yang pernah membuat Opera Pangeran Diponegoro.
Pada masa kemerdekaan, organisasi Syarikat Islam dibentuk juga dengan bayang-bayang Ratu Adil. Begitu pula Soekarno, ”Sang Putra Fajar”, berhasil menggalang solidaritas kebangsaan dengan memanfaatkan kerinduan rakyat akan Ratu Adil.
Kembali ke konteks sekarang, apa yang mesti kita refleksikan dari kasus Ponari?
”Ponari mendorong kita untuk jeda sejenak dan berkaca, sejauh mana harapan bawah sadar kita terpenuhi? Janganlah kita berhenti pada kepercayaan akan pencerahan rasional, kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi, atau pada program formal pemerintah saja. Kita butuh pendekatan kemanusiaan yang transendental, utuh, dan memenuhi harapan masyarakat,” kata Sindhunata. (Budi Suwarna, Ilham Khoiri, dan Ingki Rinaldi)
0 komentar:
Post a Comment