Mar 1, 2009

Demokrasi atau Anarki....


Dapatkah demokrasi mencegah kekerasan? Inilah pertanyaan krusial yang selalu muncul di Indonesia sejak era reformasi. Keraguan akan kemampuan demokrasi mengatasi pelbagai tindak kekerasan wajar. Perkembangan politik pasca-Orde Baru di Indonesia selalu dipenuhi pelbagai kekerasan dalam bentuk konflik sosial, perang antar-suku, agama, golongan, separatisme, sampai terorisme.

Rangkaian Kekerasan
Sejak awal era reformasi, Indonesia tak putus dirundung pelbagai kekerasan dan anarki. Proses kejatuhan rezim Orde Baru itu sendiri diwarnai anarki dalam wujud demonstrasi mahasiswa, kekerasan jalanan, sampai kerusuhan rasial. Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang membawa korban jiwa di pihak mahasiswa merupakan kekerasan oleh aparat negara. Sedangkan kerusuhan Mei 1998 merupakan kekerasan rasial terbesar di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir dengan (konon) menewaskan ribuan warga keturunan Tionghoa.

Ancaman separatisme tetap mengancam Indonesia. Papua dan Aceh menjadi titik api yang panas. Untungnya, Agustus 2005 tercapai kesepakatan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) di Helsinki, Finlandia. Sekalipun Aceh sudah aman, akan tetapi di Papua aspirasi separatisme tetap langgeng.

Anarki paling kerap muncul di era reformasi yakni dalam bentuk gerakan terorisme. Aksi bom Bali I, bom Bali II, bom malam Natal (di sejumlah kota), bom Hotel JW Marriott, dan Bom Kuningan (Kedubes Australia) dalam beberapa tahun belakangan merupakan aksi terorisme yang mengancam stabilitas keamanan dalam negeri. Tadinya banyak kalangan tidak percaya ada terorisme di Nusantara, akan tetapi setelah meletus rangkaian kejadian pengeboman di beberapa kota barulah muncul keyakinan bahwa terorisme bukanlah khayal manusia atau aparat keamanan, tetapi nyata adanya. Indonesia bahkan telah menjadi “sarang” terorisme.

Meskipun bukan tergolong aksi terorisme, akan tetapi aksi kekerasan dan anarkisme yang dilakukan kelompok-kelompok Islam radikal di beberapa kota, khususnya di Jawa, juga sangat meresahkan masyarakat dan memperburuk citra Indonesia di dunia internasional. Mereka melakukan aksi penggerebekan terhadap tempat-tempat maksiat seperti pelacuran, hiburan malam, dan perjudian. Mereka melakukan aksi anarkistis tanpa mengindahkan himbauan aparat penegak hukum, pemerintah dan tokoh masyarakat. Mereka mengambil otoritas aparat. Tidak hanya itu, mereka juga melancarkan aksi kekerasan terhadap golongan yang berbeda paham dengan mereka, seperti Ahmadiyah, Lia Aminuddin, dan Kelompok Islam liberal (Islamlib) khususnya yang berbasis di kawasan Utan Kayu, Jakarta.

Transisi Demokrasi
Ketika muncul banyak sekali aksi kekerasan dan anarki, apakah masih ada relevansi demokrasi di bumi persada ini? Kenapa demokrasi tidak bisa mengantisipasi munculnya aksi kekerasan? Kenapa kekerasan justru marak di era transisi? Di sinilah masalahnya. Masa pasca-Orde Baru bukanlah masa demokrasi sebenarnya sebagaimana diasumsikan banyak pihak. Dari segi karakter, masa transisi berbeda dengan era demokrasi.

Di masa transisi, seperti dikatakan Juan Linz (2000), hukum biasanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Eforia publik terjadi di mana-mana. Semua kalangan merasa paling berhak mengemukakan pendapatnya. Bahkan, banyak yang merasa paling berhak menentukan “kebenaran”. Masalahnya muncul ketika satu pihak memaksakan kebenaran yang dipahaminya kepada orang lain yang belum tentu setuju.

Munculnya kerusuhan sosial di beberapa tempat membuktikan tidak berperannya aparat penegak hukum. Kalaupun ada aparat penegak hukum, mereka tidak bertindak sesuai fungsi dan tugasnya. Bahkan aparat ikut berpihak. Pada saat kerusuhan SARA di Ambon terbukti, aparat keamanan ikut terlibat dalam konflik berdarah. Di atas itu, anarkisme yang merajelala juga membuktikan absennya negara di tengah masyarakat. Padahal fungsi negara justru memberi rasa aman bagi warganya.

Negara juga dianggap gagal ketika tidak ada aparat keamanan yang mampu mencegah berlangsungnya anarkisme yang dilakukan satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya. Ketika massa menyerang dan menghancurkan tempat peribadatan kelompok Ahmadiyah di Parung, Bogor beberapa waktu lalu, membuktikan tak berfungsinya aparat negara, khususnya kepolisian. Ketika ada warga negara merasa tidak mendapat perlindungan keamanan dari negara, maka negara pun dianggap tidak ada.

Kembali ke awal soal relevansi demokrasi dengan pencegahan kekerasan dan anarki, bisa dikatakan kekerasan bisa muncul ketika demokrasi belum mewujud secara genuine (sejati) dalam suatu masyarakat dan bangsa. Sebab demokrasi yang genuine mengandaikan tegaknya hukum, terwujudnya keadilan sosial, dan adanya tingkat kesejahteraan yang memadai bagi warga negara. Demokrasi juga mengandaikan adanya kebebasan berpendapat, pers bebas dan keleluasan mendirikan organisasi sosial asal tidak melanggar aturan hukum yang ada.

Mustahil berbicara demokrasi jika hukum tidak tegak. Hukum dan demokrasi ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Di negara demokrasi maju seperti Amerika dan Inggris, hukum sangat dihargai. Siapa bersalah akan ditindak. Setidak-tidaknya law enforcement di Amerika jauh lebih baik dibandingkan negara-negara berkembang. Di negara Singapura hukum memang tegak, tetapi kebebasan rakyat dalam mengeluarkan pendapat tidak bisa seperti di negara maju.

Demokrasi yang berhasil mestinya juga mengandaikan terwujudkan keadilan sosial. Mustahil demokrasi akan memuaskan publik jika publik masih miskin, pengangguran masih tinggi dan keterbelakangan masih menghantui sebagian besar warga negara. Karena itu keadilan sosial merupakan pilar penting bagi demokrasi. Memang keadilan sosial seperti yang digambarkan Karl Marx sulit terwujud, akan tetapi demokrasi yang ideal harus memastikan tidak adanya warga negara yang terabaikan hak-haknya, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya (eksosob).

Kekerasan dalam negara dan masyarakat, dalam bentuk terorisme, anarki sosial, kerusuhan SARA dan sebagainya muncul ketika keadilan sosial, politik, ekonomi, sosial dan budaya masih fatamorgana. Oleh karena itu, demokrasi yang kini mulai dijalankan mestinya diarahkan kepada upaya mewujudkan segala bentuk keadilan dalam masyarakat dan negara.(CMM)

NB : artikel di bawah ini gw baca dari salah satu blog anak medan...hihi keren..

Demokrasi Anarki


Seperti yang pernah aku bilang, bahwa politik itu bukan wilayahku. Tapi, mau tak mau aku harus berkomentar karena ini terjadi di kotaku tercinta. Tempatku seumur hidup dibesarkan, tumbuh dan berkembang.

Kemarin sore, seorang kawan memberitahu tentang aksi demo yang mengakibatkan terbunuhnya meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara melalui private message pidgin-ku. Sungguh, itu membuatku kaget. “Mantap kali demo di Medan ya. Sampe mati ketua DPRD-nya”. Itu pesannya yang membuatku terdiam ketika mengedit jadwal untuk audit hari ini. Ini bener? Bukan gosip? Cepat aku ke Data Center, meminta Joni untuk membuka situs liputan 6. Dan memang benar beritanya. Sama-sama kami terdiam ketika membaca kata demi kata yang menggambarkan brutalnya aksi demo kali ini. Dan kemudian melalui live streaming TV ONE, terlihat suasana yang begitu menyedihkan di rumah duka. Bapak yang tadi pagi pergi berpamitan dengan keadaan sehat, pulang sudah diusung peti jenazah. Membayangkannyasaja membuat hatiku pedih.

Dan ketika anchor TV ONE menyebutkan bahwa demo yang berujung kematian ini karena massa memaksa ketua DPRD untuk mensahkan Provinsi Tapanuli. Orang tolol juga tau bahwa demo itu ada dalangnya. Setiap aksi massa pastilah ada penggeraknya. Orang kawinan juga diorganisir kok, apalagi untuk masalah serius seperti pembentukan provinsi seperti itu. Kontan emosiku melejit ketika mengetahui hal ini.

Tak perlu waktu lama bagi Kepolisian Sumatera Utara untuk mengetahui otak dari semua ini. Dan mereka yang merupakan panitia pembentukan Provinsi Tapanuli ini adalah sekumpulan orang-orang pintar berambisi yang menganut paham Machiavelli pastinya. Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tujuannya apalagi, kalau ingin menjadi petinggi di provinsi yang akan mereka bentuk nanti. Pembagian kekuasaan dan sumber daya yang diketahui memang melimpah. Siapa bilang ini untuk kepentingan rakyat? Ini jelas untuk kepentingan mereka. Karena mereka tak bisa mendapat kekuasaan di Sumatera Utara, maka satu-satunya cara agar mereka jadi penguasa adalah dengan membentuk daerah kekuasaan sendiri.

Chandra Panggabean selaku Ketua Panitia Pemrakarsa Pembentukan Provinsi Tapanulis (Protap), Wakil Ketua FM Datumira Simanjuntak, serta Burhanuddin Rajagukguk, dan Viktor Siahaan ditetapkan sebagai tersangka. Inilah para dalang dibalik kekerasan yang berujung kematian. Para dalang berotak kriminal.

Dan pagi tadi, sebelum berangkat aku sempatkan untuk melihat headline salah satu koran terkenal di Medan. Terlihat bagaimana wajah yang mencerminkan kesakitan yang sangat dan tangan terkepal yang mengarah dengan tepat ke wajah Ketua DPRD. Gila. Ini yang mereka sebut Demokrasi Pancasila? Pada hafal Pancasila nggak sih? Ini Demokrasi yang sarat Kekerasan. Pancasila tak pernah mengajarkan kekerasan. Dari SD sampai perguruan tinggi kita belajar Pancasila, tapi satu sila pun tak bisa mereka terapkan dengan baik. Malah mau membentuk provinsi sendiri. Bisa apa kau mengurus daerah itu nantinya? Kau keruk sumber dayanya, lalu setelah habis kau salahkan pemerintah pusat yang kau bilang tak peduli. Memang tak ada otakmu.

Dan bukan Tapanuli aja yang berkoar-koar minta berpisah dari Sumatera Utara. Tapi juga ada deklarasi untuk membentuk Provinsi Nias yang tak mau bergabung ke Provinsi Tapanuli. Lalu juga ada yang mau membentuk Provinsi Sumatera Tenggara yang diprakarsai oleh 5 kabupaten yaitu Kabupaten Mandailing Natal, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara.

Hadduuhhh……..terserahlah. Kau mau bentuk Provinsi Hantu Belau juga aku tak peduli. Terserah kau lah. Tapi jangan pula kau bikin rusuh di Medan ini. Mau kau acak-acak daerah Tapanuli kau sana, kau acak-acak lah. Suka hati kau. Tapi jangan kau merusuh di Medan ini. Ini yang bikin aku makin yakin bahwa kali ini tak mau aku memilih caleg-caleg yang haus kekuasaan itu.

Aku cuma mau kasih saran aja sama para pemikir ambisius itu. Bagusan kau main TRAVIAN aja bapak-bapak yang nggak punya otak. Disitu kau bisa bikin sejuta desa kalau kau sanggup mengurusnya. Kalau udah terotak kali kau mau jadi pemimpin, bisa kau bentuk aliansi mau kau jadi ketuanya, suka hati kau. Mau kau bikin ribuan pasukan lalu kau kirim untuk perang dengan desa lain bisa. Tak perlu kau bunuh orang yang tak bersalah. Kalau kau perlu tutor, kuajarkan kau cara main travian sampai mahir. GRATIS BUAT KAU!!!!

Ketawa aku lihat spanduk yang terbentang di koran tadi pagi. PROVINSI TAPANULI PARIPURNA ATAU MATI. UDAH, MATI AJA KAU SANA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

JANGAN KAU MERUSUH DI MEDAN INI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!


0 komentar:

Post a Comment